TOP NEWS

Majalah ALMUNAWWIR terbit tiga bulanan sebagai media pemberdayaan dan pengembangan potensi intelektualitas dan kreatifitas civitas akademika Ponpes Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta dalam bidang jurnalistik.

Mukadimah; Pengantar Edisi Perdana


Sebagai sebuah bangsa yang tegak berdiri atas peran perjuangan founding fathers, bangsa Indonesia sekarang ini seakan mengabaikan nilai-nilai moral yang ditekankan dan dilestarikan oleh para founding fathers.

Maraknya kasus korupsi yang menjerat para pejabat di negeri ini menunjukan bahwa telah terjadi degradasi moral yang diindikasikan oleh pudarnya sifat kejujuran, rasa tanggung jawab, rasa malu, rasa kasih sayang, kesadaran saling mengingatkan (tawashau bi al haqq wa tawashau bi as shabri).

Perbuatan korupsi kerap diakibatkan karena seseorang dalam keadaan sadar ingin menyembunyikan atau mengambil sesuatu yang bukan haknya. Hal ini karena sifat ke-jujur-an pada diri mereka telah pudar. Seseorang yang diberi tanggung jawab, amanah, dan kepercayaan guna menjalankan fungsinya untuk mengelola uang rakyat namun ia menodai kepercayaan yang telah diberikan dengan menkorupsi uang tersebut berarti ia sudah tak mempunyai rasa tanggung jawab. Seorang yang dengan serakah melakukan korupsi berarti ia tidak mempunyai rasa malu, baik malu kepada Tuhan, orang lain, bahkan diri sendiri. Begitu pula seorang koruptor yang tanpa belas kasih mengambil hak-hak orang lain, termasuk hak orang miskin, anak yatim, dan orang yang seharusnya ia penuhi haknya, berarti rasa kasih sayang terhadap sesama pada dirinya telah pudar. serta, perbuatan korupsi yang kerap dilakukan oleh tidak hanya satu orang namun beberapa orang, menisyaratkan bahwa kesadaran untuk saling mengingatkan tidak mereka miliki.

Namun, sangat munafik kalau sifat-sifat tercela seperti yang telah disebutkan saat ini hanya dilokalisir dan dialamatkan kepada para pejabat yang korup masalah dana. Masih banyak anggota masyarakat lain yang baik secara sadar maupun tidak sadar memelihara sifat-sifat pengkhianat terhadap nilai-nilai moral seperti yang telah disebutkan, tentu sesuai dengan posisi, fungsi, dan peran yang berbeda. ‘Virus’ seperti ini sekarang menyerang berbagai elemen dan golongan masyarakat, baik tua maupun muda, berpendidikan maupun non-berpendidikan, kaya maupun miskin, atau klasifikasi lainnya. 

Terjadinya tawuran antar pelajar, anak membolos sekolah, tidak disiplin dan menyontek saat ulangan/ujian adalah contoh akibat dari degradasi moral yang menimpa generasi muda bangsa ini. Bisa dibayangkan bagaimana sebuah bangsa generasinya sudah tidak mengindahkan nilai-nilai moral. Lagi-lagi fenomena degradasi moral ini jangan hanya dilihat di lembaga-lembaga pendidikan sekolah umum. Namun harus dilihat secara luas termasuk kalangan pesantren, sebuah lembaga pendidikan berbasisi ke-agama-an. Apakah subyek-subyek, termasuk santri di lembaga ini sekarang ini bersih dari tabiat dan perbuatan yang sejatinya bertolak belakang dengan ajaran luhur nilai-nilai norma pesantren dan Islam?. Apakah kebiasaan yang berjalan di pesantren itu sendiri sekarang ini selaras dengan ajaran akhlak pesantren dan Islam? 

Terlihat disini betapa pentingnya merevitalisasi apa yang diistilahkan dengan “nation and character building”. Istilah ini bukanlah istilah baru, jauh hari faunding fathers bangsa ini telah mencetuskannya, bahkan secara substansial Nabi Muhammad SAW telah melakukan hal ini, nabi bersabda : “Wa ma bu’istu illa liutammima makarimal akhlaq”. Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad mempunyai misi “menyempurnakan akhlak yang mulia”. Islam menaruh perhatian yang besar dalam hal akhlak/ nilai-nilai moral, sampai-sampai islam mengajarkan akhlak/ adabnya hal-hal yang sering dianggap remeh, seperti makan minum tidak boleh sambil berdiri, makan dengan tangan kanan, memakai pakaian dan sandal dimulai dari yang kanan. Hal ini tidak lain mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai moral pada diri seseorang sehingga dari hal yang kecil ini ia mempunyai watak dan kepribadian yang berakhlak mulia/berkarakter. Masyarakat dapat membangun dan membina karakter melalui pendidikan. Di sinilah terukur keberhasilan dan kegagalan pendidikan. Karena itu pula ukuran keberhasilan lembaga pendidikan bukan saja melalui kedalaman ilmu tetapi juga pada kecerdasan emosi dan spiritual civitas akademiknya. 

Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang bercorak khas yang berbeda dengan lembaga pendidikan lain bahkan dengan tatanan lingkungan sekitar. Di lembaga ini terdapat unsur-unsur yang membuat lembaga ini berbeda, unsur itu setidaknya yaitu Kiyai, santri, dan asrama (pemondokan) santri. Oleh karena itu bapak bangsa, Gus Dur, menyebutnya sebagai sub-kultur. Sistem pemondokan yang ada di pesantren menyebabkan adanya interaksi langsung antara kyai-santri dan santri-santri. Dengan reputasi dan akhlak yang mulia serta menjadi tokoh sentral yang berpengaruh, kyai dapat mengajarkan budi pekerti dan akhlak kepada santri-santrinya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Atau pun santri yang terinspirasi oleh kemuliaan akhlak kiyainya kemudian secara sadar ia menirunya. Namun seiring perkembangan zaman, akankah generasi pesantren yang meskipun di dalamnya telah ditanamkan nilai-nilai moral/akhlak dan mendapat keteladanan karakter, pada akhirnya akan menjadi seperti pejabat korup yang juga dulu sebagai para pendahulunya, founding fathers yang mencetuskan nation and character building?! Tentu jawaban yang diharapkan adalah tidak. 

Wallahu a’lam bi shawab. 

Yayan Rubiyanto
Pemimpin Redaksi

0 komentar: