TOP NEWS

Majalah ALMUNAWWIR terbit tiga bulanan sebagai media pemberdayaan dan pengembangan potensi intelektualitas dan kreatifitas civitas akademika Ponpes Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta dalam bidang jurnalistik.

Sekilas Profil KH. M. Moenawwir dan Awal Berdirinya Pondok Pesantren Krapyak



K.H. M. Moenawwir adalah putera kedua dari KH. Abdullah Rosyad dilahirkan di Kauman, Yogyakarta. Beliau dikenal sebagai penghafal al Quran, namun demikian beliau tidak hanya menghafal al Quran saja tetapi juga beliau mempelajari ilmu-ilmu lain.

Diantara guru-guru beliau adalah :
1. KH. Abdullah-Kanggotan, Bantul
2. KH. Kholil-Bangkalan, Madura
3. KH. Sholih-Ndarat, Semarang
4. KH. Abdur Rahman-Watucongol, Muntilan, Magelang 

Selain itu beliau meneruskan pengajian dan menghafal al Quran ditanah suci. Pada mulanya di Makkah al Mukaromah kemudian berpindah ke Madinah al Munawaroh. Adapun guru-gurunya adalah :
1. Syaikh Abdullah Sanqoro
2. Syaikh Sarbini
3. Syaikh Mukri
4. Syaikh Ibrohim Huzaimi
5. Syaikh Manshur
6. Syaikh Abdus Sakur
7. Syaikh Mustofa 

Sedang guru beliau dalam qiroah sab’ah yaitu syaikh Yusuf Hajar. Beliau menekuni al Quran setiap hari 7 hari 7 malam menghatamkan al Quran selama 3 tahun, menghatamkan satu kali selama 3 tahun, setiap satu hari satu malam menghatamkan satu kali, selama 3 tahun. Terakhir berriyadloh selama 40 hari membaca Al Quran tanpa berhenti. 

Pada tahun 1909 KH. M. Moenawwir kembali dari Mekah menuju ke Kauman, Yogyakarta. Kemudian pada tahun 1910 M pindah ke Krapyak. Sebelum kedatangan beliau ke Krapyak, Krapyak dikenal sebagai daerah yang rawan, penuh kegelapan, sedikit orang-orang yang melakukan ajaran islam dan menerima hidayah Allah. Kemudian kedatangan beliau yang awalnya karena rumah di Kauman sudah sesak dengan penghuninya, sedang menurut beliau memerlukan tempat guna mendirikan komplek pesantren yang lebih luas. Selain itu juga atas saran dari KH Said (Pengasuh Pesantren Gondongan, Cirebon) agar mengembangkan ilmu Al Quran lebih lanjut diluar kota, maka ditemukanlah tempat yang sesuai untuk mendirikan pesantren yaitu di Krapyak. 

Santri Pada Masa KH. Moenawwir dan Santri Pada Masa Kini 

Kebanyakan para santri hidup sederhana, mencuci pakaian dan memasak nasi sendiri, dan juga suka tidur diserambi masjid. Dimana sangat jarang ditemui santri sekarang yang mau untuk hidup dengan pola sesederhana itu. Mungkin juga dikarenakan fasilitas yang disediakan disekitar pondok yang tersedia, seperti laundry, sehingga para santri dapat mencucikan pakaiannya pada binatu tanpa harus repot mencuci baju sendiri. Juga tersedianya warung makan yang siap sedia selama 24 jam, yang tentu saja jauh lebih gampang daripada memasak sendiri. Hal yang tentu saja sangat disayangkan, karena identitas santri sebagai orang yang nerimo menjadi bergeser. Para orangtua yang ingin memondokkan putra-putrinya karena ingin putra-putrinya dapat hidup sederhana dipondok, mandiri dalam segalanya saat ini telah begitu banyak mengalami pergeseran. Santri menghormati Kyai karena haibah dan wibawa beliau, bukan karena takut, mentaati segala apa yang dikhendaki. 

Sekarang fenomena para santri yang kurang ta’dzim terhadap kyai begitu banyak dijumpai. Contohnya saja ketika ada kyai atau nyai lewat maka mereka akan berlalu begitu saja dihadapannya, dan ketika mereka berbicara dengan kyai sangat langka ditemui santri yang menundukkan kepalanya apalagi berjalan menunduk. Modernisasi begitu sudah sangat memasuki jiwa santri, mereka yang sekolah atau kuliah diluar terbiasa bersama guru atau dosen mereka sehingga ketika mereka kembali ke pondok seringkali lupa berhadapan dengan orang yang berbeda. Bahkan dapat dilihat ada dan mungkin beberapa santri terlihat tidak mendengar dan mengindahkan apa kata kyai. Mereka mematuhi semua peraturan pondok dengan pengawasan pengurusnya. Mereka meletakkan pengurus pondok sebagai tangan kanan yang dipercayai kyai. Bukan hal yang baru, asing atau bahkan jarang ditemui sekarang ini disetiap pondok pesantren maka dapat dilihat bahwa fenomena ta’ziran para santri dapat dijumpai disetiap pondok dikarenakan begitu banyak santri yang melanggar peraturan yang sudah ditetapkan di pondok. Para santri tersebut tidak lagi menghormati peraturan yang sudah ditetapkan pesantren, bahkan diantara mereka ada yang merasa biasa saja dengan ta’ziran yang diterimanya. Mereka juga seakan lupa bahwa pengurus pondok adalah dimana yang dipercaya oleh pengasuh untuk mengawasi para santri dalam menaati peraturan pondok.

KH. M. Moenawwir sangat menekankan pengajian Al Quran, dimana beliau mengajarkan secara musyafahah. Yaitu santri membaca satu persatu dihadapan beliau dan jika terjadi kesalahan membaca, beliau langsung membetulkannya, santri langsung mengikuti dan diantara keduanya saling menyaksikan secara langsung. Karena itu beliau seringkali menyuruh kepada santrinya untuk membenarkan bacaannya dengan cara minta petunjuk kepada temannya yang lebih pandai, diluar majlis. Hal ini memang dapat membawa lebih cepat dan lancar dalam membaca Al Quran. Ada salah seorang santri pada masa beliau, diceritakan bahwa santri tersebut ketika mengaji surat An-Nas kepada beliau selama satu bulan belum juga dinaikkan. Hal ini dikarenakan mengabaikan perintah beliau untuk minta petunjuk kepada temannya yang lebih pandai, diluar majlis pengajian beliau. Beliau juga sangat mementingkan kefasihan dalam membaca, karena itu sangat memerlukan ketelitian yang sangat cermat, dimana setiap pengajian al Quran beliau hanya menerima dua orang dari bin nadri dan satu orang dari bil- hifdzi. Selain mengaji Al Quran, beliau juga memerintahkan para santri untuk mengaji kitab. 

KH. Moenawwir Wafat `Sebelum beliau wafat, beliau sakit selama 16 hari. Pada mulanya penyakit ringan lama kelaman agak berat dan kemudian menjadi parah. Tiga hari terakhir selama sakit itu, beliau tidak tidur. Selama sakit, selalu mengumandang bacaan surat Yasin 41 kali yang dilakukan oleh rombongan-rombongan yang berdatangan secara bergantian. Satu rombongan selesai membacanya, disusul dengan lain, demikian tidak ada putus-putusnya. Wasiat yang beliau keluarkan antara lain berpesan kepada putera dan menantu untuk benar-benar bertanggungjawab atas kelangsungan pengajian didalam pesantren beliau. Beliau wafat paada tanggal 11 Jumadil Akhir (1942 M) di rumah beliau. Jalanan sepanjang kurang lebih 2 km dari Krapyak hingga maqbaroh beliau di dongkelan penuh sesak dengan muslimin dari berbagai daerah dan bermacam-macam golongan. Semuanya berta’ziah dan ingin pula untuk mengangkat jenazah beliau. Karena penuh dengan pentaziah maka jenazah cukup dioperkan dari tangan ke tangan yang lain, dipindah dari orang ke sampingnya demikian seturusnya hingga Dongkelan. Semoga kita dapat menaladininya. Amin 

*(OA-R2, disunting dari buku KH. M. Moenawwir al marhum Pendiri Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta)

0 komentar: