TOP NEWS

Majalah ALMUNAWWIR terbit tiga bulanan sebagai media pemberdayaan dan pengembangan potensi intelektualitas dan kreatifitas civitas akademika Ponpes Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta dalam bidang jurnalistik.

K.H. M. Moenawwir: Membangun Karakter Qur’ani

Refleksi 73 Tahun Wafat K.H. M. Moenawwir 

 Jika seluruh pahala shalawat dikumpulkan menjadi satu, maka tidak akan bisa menandingi pahala membaca satu huruf dari al-Qur’an. (al Hadits, dalam Khazinah al Asrar hal: 3. Sayyid Ahmad an Naziliy)

Waktu terluang yang tidak digunakan untuk nderes al-Qur’an adalah kerugian yang besar. 
Wahai putera dan menantuku yang mempunyai tanggungan al-Qur’an, 
apabila belum lancar enar, jangan merangkap apapun. 
Seyognyalah engkau menghadiahkan berkah surat al-Fatihah kepada segenap muslimin yang masih hidup, jangan hanya kepada muslimin yang sudah meninggal saja.
(K.H. Moehammad Moenawwir, Krapyak Yogyakarta) 

1. Selama 3 tahun: setiap 7 hari 7 malam mengkhatamkan satu kali. 
2. Selama 3 tahun: setiap 3 hari 3 malam mengkhatamkan satu kali. 
3. Selama 3 tahun: setiap 1 hari 1 malam mengkhatamkan satu kali. 
4. Riyadhoh selama 40 hari membaca al Qur’an tanpa henti. 
(Riwayat Masyhurah dari K.H. Moehammad Moenawwir, Krapyak Yogyakarta) 

Tujuh puluh tiga tahun lalu, tepatnya 11 Jumadal Akhirah 1360 H seorang ulama yang diakui sebagai Mahaguru al-Qur’an di Indonesia sowan ke mala’il a’la (surga tertinggi) dengan meninggalkan warisan fisik berupa Pondok Pesantren, dan warisan non fisik berupa ilmu dan nilai-nilai luhur yang berguna bagi masyarakat. Salah satu nilai luhur warisan beliau adalah pembangunan karakter bagi santri dan masyarakat Islam pada umumnya. Istilah Qur’ani di sini mengacu pada disiplin keilmuan yang menjadi trade mark beliau; al-Qur’an dan ilmu penunjangnya. Meskipun sebenarnya beliau dikenal mumpuni dalam beragai disiplin ilmu agama. 

 Mbah Moenawwir, demikian biasanya santri menyebut nama beliau yang terhormat, lahir dari keluarga pejuang yang agamis. Darah religius yang mengalir pada diri beliau menjadikan pendidikan agama sebagai basis pembentuk karakter beliau di masa yang selanjutnya. Pendidikan kognitif dari orang tua beliau nampak dengan usaha keras (mujahadah) yang dilakukan oleh kakek dan ayah beliau sebagai ikhtiar bathiniyyah agar sang putra menjadi ahli al-Qur’an. Dari usaha batin yang luar biasa dari leluhurnya inilah yang pada akhirnya melahirkan ikhtiyar dhohir dari Moenawwir yang dalam usia masih kecil dapat mengkhatamkan al-Qur’an dalam waktu satu hari. Meskipun pada awalnya dengan upah sebagai stimulus; sebuah langkah yang dalam konsep pendidikan modern diakui sebagai salah satu alat pendidikan. 

Beberapa pesantren besar di pulau Jawa menjadi tempat Moenawwir kecil pada tahap selanjutnya untuk menimba ilmu dan mendapat pendidikan karakter yang dalam khazanah pesantren selalu berjalan beriringan. Tercatat nama-nama besar pesantren di Jawa dan Madura seperti Tremas, Bangkalan, Watucongol pernah beliau singgahi. Pada akhirnya Mekah dan Madinah menjadi akhir pengembaraan ilmiah beliau. Selama 21 tahun beliau tinggal di negeri Rasullullah SAW untuk memperdalam ilmu yang kelak mengangkat beliau menjadi Mahaguru al Qur’an di Indonesia. 

Hasil usaha keras lahir batin orang tua, guru dan Moenawwir kecil sendiri inilah yang pada akhirnya menunjang pendidikan intelektual dan karakter Muhammad Moenawwir. Interdependensi demikian inilah yang menunjang kesuksesan cita-cita orang tua beliau, menjadi “ahli al-Qur’an sejati” bil qauli wal amal dan pembangun karakter yang berlandaskan al-Qur’an bagi putra, cucu, santri dan kita semua. 

Mengapa Character Building? 

Seorang samurai, disamping bekal ketrampilan beladiri dan katana sebagai senjata andalan dibekali dengan apa yang disebut bushido. Bushido sendiri adalah sifat amanah, pengasih, santun, sopan, mulia, hormat, dan lain-lain. Dalam bahasa Agama konsep-konsep itu dikenal dengan akhlak. Dalam bahasa modern lebih dikenal dengan karakter. 

Ilustrasi di atas menggambarkan betapa pentingnya karakter. Dapat dibayangkan apabila katana, yang menurut riwayat saking tajamnya dapat membelah kapas, dipegang oleh ahli yang tidak berkarakter bushido. Bisa jadi headline media konvensional dan media baru akan dipenuhi oleh berita kriminal yang umumnya tidak mendidik. 

Di negara kita slogan character building pernah lekat dengan Soekarno semasa menjadi Presiden RI pada awal kemerdekaan. Masa di mana bangsa Indonesia masih menyandang gelar sebagai masyarakat terjajah. Di sisi lain karakter masyarakat Islam sebenarnya sudah ada sebelum zaman kemerdekaan. Namun implementasi di lapangan menurutnya tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tidak berlebihan apabila Soekarno menggemborkan kembali konsep populer yang pada masa sekarang ini kembali dibutuhkan. 

Character Building 

Konsep karakter acapkali dialamatkan pada pendidikan agama. Sehingga bukan merupakan hal aneh jika frame pembangunan karakter seseorang berada pada taksonomi keilmuan agama dengan institusi pendidikan tertua yang disebut pesantren sebagai simbol eksistensinya. Meskipun pendidikan karakter sebenarnya sudah dimulai dari keluarga sebagai unit pendidikan terkecil. Sayang banyak masyarakat kita yang lalai dengan mempercayakan tugas itu pada institusi yang salah. 

Karakter bukanlah kemampuan kognitif, skil kejuruan tertentu, atau penguasaan atas berbagi disiplin ilmu. Sebagaimana penulis telah sebutkan, karakter berhubungan dengan budi pekerti yang mengakar pada diri seseorang. Secara konseptual Rutland (2009) menyebut karakter berasal dari bahasa latin yang berarti “dipahat”. Hermawan Kertajaya (2010) menyebut karakter adalah ciri khas dari suatu manusia atau benda. Dengan demikian membangun karakter itu dapat diumpamakan dengan membuat pahatan yang indah dan artistik yang akan menjadi ciri khas bagi pembuatnya. 

 Ilustrasi berikut akan memberikan gambaran praktis proses pembangunan karakter. Seorang ahli seni ukir untuk menghasilkan mahakarya indah, artistik dan memiliki karakter kuat sehingga diakui oleh ahli pahat lainnya, disamping bekal ketrampilan yang melekat pada dirinya, imajinasi yang baik; tergambar lewat pola ukir, fokus, kehati-hatian, dan peralatan yang memadai, tentu membutuhkan media yang kuat agar tak lapuk di makan usia. Bagaimana jika yang ” dipahat” adalah manusia yang bahan dasarnya adalah tanah yang secara natural lembek lagi mudah hancur? 

Membangun karakter manusia dengan demikian sama saja dengan membangun kehidupan seseorang. Bagaimana menghasilkan “pahatan hidup” yang indah, di sisi lain reflektif terhadap berbagai persoalan kehidupan. Di samping keahlian, akurasi dalam pemilihan alat yang baik sekali lagi akan memberi pengaruh pada hasil ukiran. Di samping itu kerja keras dan ketelitian juga sangat diperlukan. Dapat dibayangkan jika tatah dengan kualitas tinggi itu meleset dari pola ukir, sebaik apapun bahan yang dipakai akan menjadi tidak berguna, terbaik hanya menjadi kayu bakar. Bukankah hasil pahatan tergantung pada kemampuan pemahat dan alat itu sendiri?!. 

Membangun Karakter Qur’ani

Dalam perspektif “orang pesantren” ilustrasi di atas belumlah cukup untuk menggambarkan pembangunan karakter orang-orang pesantren. Tidak diragukan lagi Mbah Moenawwir adalah pembangun karakter ulung. Apa yang di ajarkan dan dilakukan oleh Mbah Moenawwir tentu lebih dari sekedar seorang tukang pahat ataupun ahli beladiri negeri sakura itu yang hanya berorientasi pada nilai universal kemanusiaan atau antroposentris. Al-Qur’an yang menjadi alat yang dipilih beliau untuk membangun karakter santri dan keluarga beliau adalah kalamullah yang tiada banding dan dapat memadukan dua kepentingan; duniawi dan ukhrawi. 

Kutipan pada awal tulisan ini menjadi salah satu indikator pembangunan karakter yang dilakukan oleh K.H. M. Moenawwir. Sebagai mahaguru dan murabbi al arwah (pendidik rohani), beliau tidak hanya mengasah kemampuan kognitif santri dan keluarganya saja. Nilai amanah untuk selalu menjaga dan mengamalkan al-Qur’an, selalu memanfaatkan waktu luang dengan aktifitas paling istimewa, fokus pada hal terpenting yang sedang dihadapi dan menjadi tanggung jawabnya, dan responsif terhadap persoalan orang lain merupakan beberapa dari pendidikan karakter yang beliau tanamkan kepada santri dan masyarakat pada umumnya yang masih relevan pada masa sekarang ini. 

Secara empirik hasil karya beliau dapat dilihat dari karakter dan kesalehan murid, cucu murid, dan orang-orang yang berintishab kepada beliau sampai di masa sekarang. Lebih dari itu riyadloh luar biasa yang telah beliau lakukan merupakan bentuk lain pembangunan karakter yang berguna sebagai modal bagi anak murid, santri, keluarga dan para pecintanya (semoga kita termasuk di dalamnya) untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Sudah selayaknya sebagai orang yang beruntung menjadi bagian dari anak murid beliau (semoga) untuk mendoakan beliau sebagai rasa terimakasih kepada beliau. Terpenting lagi adalah meneladani karakter beliau sebagai upaya character building yang ideal. []

*Muhammad Fakhruddin Yusuf
 Ketua pengurus pusat PP. Al Munawwir

1 comment: